Mengikhlaskan yang Tak Pernah Hadir: Sebuah Kisah Tentang Perasaan yang Tertinggal
Cinta yang Tak Pernah Datang
Kota ini selalu ramai pada malam hari. Lampu-lampu jalanan berpendar indah, seolah-olah menggambarkan kehidupan yang tak pernah tidur. Namun, di balik keramaian itu, hati Riang terasa hampa. Dia duduk di salah satu sudut kafe kecil, memandang secangkir kopi yang tak disentuh.
Pikirannya melayang kepada sosok yang selama ini mengisi harapannya. Yusa. Lelaki yang telah menjadi pusat dunianya selama bertahun-tahun. Namun kini, ada sesuatu yang berubah. Ada jarak di antara mereka yang tak lagi dapat dijembatani.
Harapan yang Mulai Pudar
Dulu, jarak di antara mereka hanya masalah waktu. Riang selalu berpikir, selama mereka berdua berusaha, hubungan itu akan bertahan. Tetapi belakangan, semua terasa dingin. Pesan-pesan yang dulu dibalas dengan cepat, kini hanya dijawab dengan singkat, atau bahkan diabaikan.
Riang pernah mencoba bertanya.
“Apakah kamu masih mencintaiku, Yusa?”
Yusa hanya diam. Waktu itu, jawaban tidak perlu keluar dari mulutnya. Mata itu sudah berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Riang tahu, ada sesuatu yang hilang.
Namun, alih-alih menyerah, Riang mencoba untuk mencari alasan. Dia menyalahkan kesibukan mereka, perbedaan waktu, hingga segala hal yang tampaknya masuk akal.
Mencari Jawaban di Tengah Keraguan
Malam itu, Riang memutuskan untuk bertemu dengan Yusa. Dia ingin mendengar kebenaran langsung dari mulutnya.
“Aku ingin tahu, Yusa. Apa kita masih punya kesempatan?” tanya Riang, suaranya bergetar.
Yusa menghela napas panjang sebelum menjawab. “Riang, mungkin ini berat untuk kamu dengar. Tapi perasaanku terhadapmu sudah hilang.”
Riang merasa dunia seolah berhenti. Kata-kata itu menghantamnya seperti badai yang tak tertahankan. Tapi yang lebih menyakitkan adalah kelanjutan kalimat itu.
“Bukan hilang, mungkin… aku memang tidak pernah benar-benar punya perasaan itu. Aku hanya berpikir waktu akan membuat segalanya terasa benar. Tapi ternyata tidak,” ucap Yusa, dengan nada yang begitu tenang.
Belajar Menerima Kenyataan
Kata-kata Yusa terus terngiang di telinga Riang bahkan setelah ia kembali ke rumah. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Selama ini, dia mengira cinta mereka hanya terhalang oleh jarak atau waktu. Namun kenyataannya, cinta itu tak pernah benar-benar ada.
Hari-hari berikutnya menjadi momen refleksi bagi Riang. Dia mulai menyadari betapa seringnya dia mengabaikan tanda-tanda yang sudah ada sejak awal. Dia memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah nyata.
Mengikhlaskan yang Tak Pernah Dimiliki
Bulan berganti, dan Riang perlahan belajar untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Baginya, tidak mudah menerima kenyataan bahwa perasaan yang selama ini dia perjuangkan ternyata sia-sia. Namun, Riang juga menyadari bahwa dirinya lebih dari sekadar seorang wanita yang patah hati.
Dia mulai menemukan kembali hal-hal yang dulu membahagiakannya. Menulis puisi, membaca buku favoritnya, hingga menjelajahi tempat-tempat baru.
Riang tahu, mengikhlaskan bukan berarti melupakan. Baginya, mengikhlaskan adalah menerima kenyataan dengan lapang dada, dan melanjutkan hidup dengan hati yang lebih ringan.
Post a Comment