Ketika Hujan Mempertemukan: Sebuah Kisah tentang Harapan dan Kemungkinan
Awal Pertemuan
Hujan mengguyur deras sore itu. Aku menatap keluar jendela kafe, melihat tetes-tetes air yang membasahi jalanan. Kamu, seorang asing saat itu, duduk di meja sebelah, terlihat sibuk mengetik di laptop. Tapi entah kenapa, ada sesuatu darimu yang menarik perhatianku.
“Kamu percaya nggak,” tanyaku tiba-tiba, “kalau hidup ini cuma kumpulan kemungkinan?”
Kamu mengangkat wajahmu, terlihat sedikit terkejut. “Kemungkinan seperti apa?”
Aku tersenyum kecil. “Kemungkinan apa pun. Misalnya, kalau saja aku memilih tempat lain untuk duduk, kita nggak akan pernah berbicara.”
Kamu tertawa pelan, suara yang terdengar hangat meski baru pertama kali kudengar. “Mungkin kamu benar. Tapi apa yang membuatmu berpikir soal itu sekarang?”
Aku mengangkat bahu. “Hujan. Selalu membuatku berpikir terlalu banyak.”
Kamu menatapku lama, seolah mencoba membaca pikiranku. “Lalu, apa yang kamu harapkan dari kemungkinan ini?”
Sebuah Obrolan Tak Sengaja
Beberapa hari kemudian, kita bertemu lagi di kafe yang sama. Kali ini, kamu yang memulai percakapan.
“Jadi, kamu sering memikirkan kemungkinan?” tanyamu, sambil memegang cangkir kopimu.
Aku tersenyum. “Iya. Mungkin karena kemungkinan itu yang membuat hidup menarik.”
“Menarik, atau membingungkan?”
Aku tertawa kecil. “Mungkin keduanya. Tapi aku percaya, setiap kemungkinan membawa cerita.”
“Lalu, apa cerita yang ingin kamu tulis dari pertemuan ini?” tanyamu, membuatku terdiam.
Aku menatap matamu, mencoba mencari jawaban. “Aku nggak tahu. Tapi mungkin kita bisa mencari tahu bersama.”
Kamu tersenyum tipis. “Kedengarannya seperti kemungkinan yang berisiko.”
Di Antara Ragu dan Harapan
Hari itu, hujan kembali turun. Kita duduk di bangku taman, berbicara tentang banyak hal, tapi semuanya kembali pada satu topik: kemungkinan.
“Aku sering berpikir,” katamu tiba-tiba, “kalau kita terlalu banyak berharap pada sesuatu yang nggak pasti, kita hanya akan berakhir terluka.”
Aku mengangguk pelan. “Mungkin kamu benar. Tapi tanpa harapan, apa gunanya hidup?”
Kamu menatapku, tatapanmu penuh dengan keraguan yang tak terucapkan. “Lalu, apa yang kamu harapkan dari aku?”
Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku berharap kita bisa berjalan bersama, meskipun di jalan yang penuh ketidakpastian.”
Kamu tersenyum lemah. “Dan bagaimana kalau jalan itu tidak membawa kita ke mana-mana?”
Aku mengangkat bahu. “Setidaknya, aku tahu aku pernah mencoba.”
Sebuah Akhir yang Tidak Pernah Jelas
Kamu dan aku berdiri di tepi jalan, di bawah langit yang masih menangis. Hujan membasahi tanah di bawah kaki kita, seolah menegaskan betapa rapuhnya semua ini.
“Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang?” tanyaku, mencoba terdengar tenang meski hatiku bergetar.
Kamu menatapku, tatapanmu penuh dengan sesuatu yang sulit kuartikan. “Aku nggak tahu. Mungkin aku akan terus berjalan, mencari kemungkinan lain.”
Aku tersenyum pahit. “Lalu, bagaimana dengan kemungkinan ini? Kita?”
Kamu terdiam, lalu berkata, “Mungkin kamu dan aku adalah kemungkinan yang tidak pernah pasti.”
Aku hanya bisa menatapmu pergi, langkahmu semakin jauh di bawah derasnya hujan. Di hatiku, aku tahu, kamu benar. Kita adalah cerita yang dimulai dengan harapan, tapi berakhir dengan ketidakpastian.
Penutup
Cerita ini bukan tentang akhir yang bahagia atau menyedihkan. Ini adalah tentang menerima bahwa hidup memang penuh dengan kemungkinan yang tidak pasti. Kadang, kita hanya perlu berjalan tanpa tahu ke mana arah yang dituju, karena di sanalah kita menemukan makna sebenarnya.
Post a Comment